Setelah tamat dari SMA timbul kebingungan, mau kuliah atau bekerja. Itu bukan pilihan yang enak buat anak remaja 19 tahun. Latar belakang keluarga dan lingkungan akan mempengaruhi langkah mana yang akan dituju. Jika orang tua dan keluarga berlatar belakang Pendidikan, seperti keluarga guru atau pendidik, maka kuliah adalah pilihannya.
Tapi jika latarbelakang keluarga yang ekonominya lemah, hidup dalam penderitaan maka kemungkinan besar mereka akan memilih jalur bekerja, sebagai program jagka pendek mengatasi masalah keuangan keluarga. Meskipun ada juga yang berfikir jangka panjang – masa depan, bahwa anaknya tidak boleh hidup melarat seperti mereka, maka bersekolah adalah jalan untuk memutus mata rantai kemiskinan itu.
Dia mungkin termasuk pada kriteria keluarga sederhana dengan latar belakang keluarga yang berpendidikan pada masa itu. Guru Sekolah Dasar cukup dianggap sebagai orang berpendidikan waktu itu. Tidak banyak orang yang bersekolah. Keuarga nya dijadikan sebagai raw model bagi pada umumnya keluarga yang tinggal didaerah itu. “Sekolah lah kalian seperti anak-anak Pak Guru itu..” itu lah kata kata yang sering diucapkan oleh banyak keluarga pada anaknya ketika mereka bekerja disawah.
Dan banyak sekali anak anak belia yang duduk dikelas 6 SD yang tidur belajar bersama dirumahnya. Dan saat ini hampir seluruh masyarakat di desa itu sudah bersekolah, dan banyak sekali yang tamatan perguruan tinggi. Dokter, Apoteker, Insinyur, Sarjana ekonomi, Tentara/polisi, Pengusaha apalagi dan juga guru…sudah hal yang biasa disana saat ini. Bahkan jabatan jabatan penting baik dipemerintahan manupun dunia usaha banyak yang berasal dari desa ini.
Makanya setelah lulus SMA dia memutuskan untuk kuliah, meskipun dia tahu itu sangat berat karena dua orang kakaknya juga masih kuliah, dan beberapa adik adiknya juga masih sekolah. Dia memutuskan untuk kulaih keluar daerah. Pilihan utamamya ya pasti ke Jawa, Jakarta Bandung atau Jogja. UI, ITB dan UGM tetap jadi pilihan bagi lulusan SMA. Walaupun tidak semua lulusan SMA dari sana yang bisa keterima di universitas papan atas itu. Tapi tiga kota besar itu jadi pilihan. Ada yang keterima tapi ada juga yang gagal, akhirnya kuliah di Perguruan Tinggi Swasta. Tapi Jakarta dong, Bandung dong, Jogja dong..!
Tapi dia harus mengubur niat untuk kuliah ke pulau Jawa karena faktor ekonomi. Soal kecerdasan nggak kalah lah.. Dia memilih ke Medan. Disana ada Universitas yang masuk dalam kelompok 10 Universitas papan atas yang tergolong dalam Perintis Satu. Zaman itu PT itu terbagi atas empat kelompok, yaitu Perintis I, ada 10 PT, Perintis II, jalur bakat dan prestasi, Perintis III ada beberapa PT dliuar yang 10 Perintis I, kemudian ada Perintis IV , ini adalah PT Kejuruan.
Jangan Ambil Informasi dari Sumber yang Salah
Kota Medan merupakan kota baru dan asing baginya. Selama sekolah di SMA dia tidak pernah pergi keluar provinsinya. Ke ibukota provinsi saja jarang. Maklum dia sekolah SMA di kota Kabupaten di daerahnya. Kalaupun ke ibukota provinsi itu juga hanya pada saat mengambil honor karena beberapa tulisannya dimuat surat kabar . Dia sudah belajar untuk menulis artikel artikel tentang remaja, menulis tentang daerah wisata sekitar kampung nya. Ketika tulisannya dimuat di koran, itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri, dan kadang juga ada guru yang memajangnya di koran dinding sekolah.
“Cerita soal menulis di surat kabar, ada teman satu indekost yang sangat mahir dan berbakat dalam menulis” ..kenangnya. “Hampir setiap minggu tulisannya dimuat di beberapa surat kabar lokal. Pada mulanya dia mengetik tulisannnya di kantor adminstrasi sekolah, dengan mesin tik yang panjang besar itu – sampai dia bisa membeli mesin tik merek royal yang sangat dibanggakan bagi sebagian penulis waktu itu. Dan sekarang temannya itu menjadi orang penting di Republik ini.”
Sebelum berangkat ke Medan dia mulai mencari informasi tentang kota Medan. Dan yang paling penting ditanya ada nggak keluarga disana.. supaya bisa numpang. Ada sesorang yang dijumpainya “Kau mau ke Medan ?, tahu kau Medan itu ? Orang itu begitu meyakinkannya untuk tidak pergi ke Medan. “ Kau tahu orang Medan?’ katanya begitu meyakinkan.”Orangnya keras, kasar dan kejam. Jika kau berjalan berjumpa orang Medan, bertatapan matakau dengan mata dia, dia bentak kau ..Mata mu..!, Lha jangan lah ditatap kalau begitu. “ Buang muka kau yaa. !! kata nya meyakinkan. “ Yang lebih parah lagi dia minta uang sama kau .. jika tak kau kasih, batu bata dikepala kau.. “Ya kasih aja lah”… “Batu bata juga dikepala kau..” begitu bersemangat dia memempengaruhi agar tidak pergi ke Medan. “ Oh gitu ya.. ngeri sekali… udah berapa kali abang kena pukul batubata orang Medan?. “ Aku tak pernah “ katanya..”karena aku belum pernah ke Medan “, terangnya.. Orang yang belum pernah ke Medan bercerita tentang Medan.
Hampir saja dia terpengaruh dengan omongan orang itu. Begitu banyak pencuri pencuri impian yang berkeliaran. Memberikan masukan dan informasi yang tidak benar, seolah olah benar, pada hal mereka itu tidak tahu sama sekali. Kegagalan bisa diawali karena kesalahan informasi. Ambillah informasi dari sumber yang benar.
Tidak bertanya.. Jalan jalan
Pepatah yang benar, “malu bertanya sesat dijalan”. Kalau tidak bertanya jalan jalan. Perjalan ke Medan memberi kenangan tersendiri waktu itu. Tapi yaaa sudah lah, yang penting sudah sampai di Medan. Tempat “hinggap sementara” belum ada. Belum dapat alamat familyiatau orang sekampug yang tinggal di Medan. Dia menginap disebuah penginapan di belakang loket pemberhentian bus yang ditumpanginya ke Medan. Ya bukan losmen atau hotel. Ya penginapan lah. Ada kamar 2 x 3 meter , tempat tidur kayu dengan kasur kapuk tipis, ada lemari kayu kecil disudut ruangan. Lampunya masih lampu pijar 25 watt, bukan neon atau LED seperti sekarang. Cahayanya agak menguning. Kamar mandi bersama, ya tapi bisa lah untuk mandi.
Hari pertama di kota baru ini diawali dengan sarapan lontong Medan. Lontong, sayur lodeh labu siam, tocho medan, sambal teri dan kacang tanah, ada serundeng dan telur balado separo. Wah itu… itu lontong “terenak didunia”. Sebenarnya hampir disemua daerah ada lontong atau sepejenisnya. Di Padang juga ada lontong pical ada juga bubua samba, yaitu bubur nasi, sayur nangka, toping gulai pakis dan tak lupa kerupuk merah. Tapi lontong setiap daerah punya spesik rasa, yang tidak dapat dibandingkan.
Perjalanan hari ini tanpa tujuan. Naek bemo dari penginapan tak tahu mau kemana. Penumpang bemo itu tujuh, satu di depan dan enam dibelakang. Karena kaki nya agak panjang, maka dia sering mengambil tempat paling pinggir, agar kaki bisa terjuntai keluar. Kalau tidak, dengkul masuk ke kelangkangan orang yang di depan. Di perhatikannya kiri kanan jalan dengan teliti. Dan yang spesifiknya, jika mau stop, penumpang cukup tekan knop bel yang tergantung di tengah tengah atap bemo. Bola lampu kecil akan menyala didepan supir, dan bemo berhenti, penumpang turun.
Begitu penumpang sudah tinggal satu atau dua orang, dia pun menekan bel. Dia turun, nyeberang jalan, naek bemo yang lain.. begitulah yang dikerjakannya seharian. Perlengkapan selalu dibawa, ransel didalamnya ada surat surat penting dalam tabung paralon yang sudah disiapkan sebelumnya, jaket tipis dan sisir rambut dan benda ini tak pernah alpa dari perlengkapan.
Hari ketiga petualangan dilanjutkan. Hari kamis siang dia melihat arah panah universitas yang dia cari. Dia langsung pencet bel, turun dari bemo. Dia berjalan kaki menelusuri jalan arah panah itu. Cuaca siang itu sangat terik. Ternyata lumayan jauh. Kira kira lima kilometer ternyata. Akhirnya saya sampai juga di tempat pendaftaran universutas itu. Jam 15.00 proses pendaftaranku selesai. Pendaftaran nomor dua terakhir, dan setelah itu pendaftaran penerimaan mahasiswa baru ditutup. Untung saja. Coba bayangkan jika tidak melihat nama universitas itu di pinggir jalan. “Kenapa aku tidak bertanya kepada penjaga penginapan, atau supir bemo atau siapun lah”. Kalau sekarang sangat mudah – googling saja. Itulah point nya, “Malu bertanya sesat dijalan, tidak bertanya jalan jalan”.
Beda daerah, beda istilah
Ujian masuk Pergurung Tinggi itu hari senin jam 09.00 – 12.00, selama dua hari. Tempat ujiannya tercantum dalam kartu peserta ujian masuk. Semua peserta ujian harus melihat ruang dan bangku ujian pada hari Sabtunya. Dia juga tidak tahu dimana lokasi ujiannya.
Pengalaman kemarin tentu tidak boleh terulang lagi. Dia bertanya pada penjaga penginapan lokasi tempat ujian itu.
“oooh ini tak palah jaoh dari sini, dua tekongan nya ini’ jelasnya dalam logat Medan. Naek becak mesin aja kau, tambahnya. Dia mulai percaya diri.
“Bang, tolong ke SMA Harapan”. Pakai kata tolong, itu sudah sangat sopan dalam bahasa pergaulan. Sebenarnya dalam bahasa sehari hari cukup bilang “Bang SMA Harapan bang!” Tapi ia lah, awak masih orang baru dirantau orang.
Becak mesin waktu itu bukan seperti sekarang. Dulu motornya itu sachs, sparta atau brompit, motornya itu ada dayungannya, macam dayungan sepeda itu. Kalau tidak sanggup nariknya karena mendaki ditambah dengan dayungan. Bunyi mesinnya keras, lari tak ada.. Oli mesinya netes netes, mungkin bocor. Dua puluh menit sampai di SMA Harapan. Mana ada dua tekongan seperti yang dijelaskan penjaga penginapan itu, Tapi ya begitulah istilah Medan untuk menyatakan daerah yang tak terlalu jauh.
“Berapa bang ?”.. “Empat perak” jawab tukang becak. Dia bingung lagi.. “mana ada aku uang perak”, pikirnya. “Bang.. maaf aku tak ada uang perak, aku ada uang kertas” . katanya sambal memegang beberapa lembar uang kertas “Iya boleh lah “ katanya seraya mengambil langsung dari tangan nya uang kertas lima ratus dan dikembalikan uang logam empat keping koin logam dua puluh lima rupiah. “Oooh , empat perak artinya empat ratus rupiah” gumam nya terpelongo sambal berlalu..
Dia masuk pekarangan SMA Harapan, dan melihat papan pengumuman, melihat denah dimana ruangan dan kursi tempat dia testing senin depan… “ Ha..ha.ha..Empat perak” …….. <>
Satu pemikiran di “Pergunakan Instrumen yang Benar”
Keren bang he he …